Menjalani hidup
kadang seperti saat kita memancing ikan. Semakin bagus umpan yang diberikan,
kian cepat dan besar ikan yang didapat. Sayangnya, tak semua pemancing sadar jika
mengail ikan memerlukan keyakinan dan kesabaran.
Tak pernah kering
hikmah dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. Dua hamba Allah yang telah
membuktikan kesalehan dan kesabarannya dalam taat pada Allah swt. Seorang ayah
dan anak yang diuji ketaatan dan kecintaannya kepada Allah dan kepada keluarga.
Tak pernah terpikir
oleh Ibrahim kalau kecintaannya dengan Ismail harus berbenturan dengan sebuah
mimpi. Mimpi tentang perintah Allah yang memintanya untuk menyembelih putera
yang telah ia nanti hingga lebih dari delapan puluh tahun. Mimpi yang
menyuruhnya melakukan perbuatan yang di luar batas kewajaran sebagai seorang
manusia. Terlebih buat orang yang sangat ia cintai.
Masih terbayang oleh
Ibrahim bagaimana beratnya kehidupan Ismail dan ibunya ketika ia tinggalkan di
sebuah negeri asing yang tandus. Kawasan padang pasir yang bukan sekadar tak
berpenghuni, tapi juga tak berair dan berpohonan. Bagaimana mungkin mereka bisa
hidup. Kalau bukan karena ketaatan dan tawakalnya pada Allah swt., tentu
Ibrahim tak akan tega meninggalkan mereka menuju Palestina.
Namun, Ibrahim yakin
kalau itu bukan sekadar mimpi. Bukan sekadar bunga-bunga tidur yang tidak punya
arti. Ia yakin kalau itu perintah Allah yang harus ditaati. Walaupun tak mampu
dicerna oleh nalar yang wajar. Dengan sangat bijaksana, Ibrahim mengungkapkan
kegundahan itu kepada Ismail, “Wahai anakku. Aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” (Ash-Shaffat: 102)
Dan jawaban yang
diberikan Ismail sungguh sangat mengharukan, Ia menjawab, ” Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar” (Ash-Shaffat: 102).
Dialog yang
menggambarkan bagaimana seorang ayah yang sangat menghargai pendapat anaknya
jika akan memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan keduanya, dan begitu
pasrhanya sang anak atas apa yang Allah perintahkan kepada ayah tercintanya.
Di antara hikmah itu
adalah bahwa mencintai sesuatu memerlukan pengorbanan.
Pengorbanan itu memerlukan keyakinan dan ketaatan yang kuat. Semakin tinggi dan
agung sebuah ungkapan cinta, kian besar tuntutan nilai pengorbanannya. Dan hal
itulah yang ingin ditunjukkan Nabi Ibrahim a.s. bahwa Ia harus berkorban.
Dengan apa pun, walaupun harus dengan nyawa orang yang paling ia cintai.
Hikmah kedua adalah
bahwa kadang kala kedekatan seorang hamba Allah dengan Rabbnya bisa terhalang
dengan kedekatan-kedekatan yang lain. Harta, jabatan, isteri atau suami, anak
dan cucu. Ada tarik-menarik antara kedekatan-kedekatan itu. Dan setan kerap
memainkan kedekatan yang lain itu untuk menggoyahkan komitmen keimanan seorang
mukmin.
Betapa tidak sedikit
seseorang yang akhirnya menjauh dari Allah lantaran orang yang ia cintai pergi
untuk selamanya. Ia lupa kalau siapa pun yang tiba-tiba dekat dalam hatinya
cuma berlangsung sementara. Ia akan berpisah. Bisa ia yang ditinggalkan, atau
ia yang akan meninggalkan. Tak ada yang abadi dalam dunia. Maha Benar Allah
dalam firmanNya, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (Al-Anfal:
28)
Hikmah ketiga adalah bagaimana cara seorang ayah mendidik puteranya dengan mengutamakan dialog, dan mendengarkan pendapat sang anak dan bukan hanya instruksi atau perintah tentang apa yang harus diperbuat.
Hikmah ketiga adalah bagaimana cara seorang ayah mendidik puteranya dengan mengutamakan dialog, dan mendengarkan pendapat sang anak dan bukan hanya instruksi atau perintah tentang apa yang harus diperbuat.
Nilai keteladanan
yang diperlihatkan Ibrahim a.s. inilah yang harus kita contoh. Ia terbukti
mampu menempatkan kecintaan pada Allah di atas kecintaan yang lain. Ia pun
sukses mengikat cinta-cinta hati orang-orang dekatnya untuk bersama-sama
mencintai Allah swt.
Maha Benar Allah
dalam firmanNya, “Dan Kami panggilkan dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu
telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian. (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.”
(Ash-Shaffat: 104-109)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar