Minggu, 28 Oktober 2012

Pelajaran Dari Keluarga Ibrahim AS.



Menjalani hidup kadang seperti saat kita memancing ikan. Semakin bagus umpan yang diberikan, kian cepat dan besar ikan yang didapat. Sayangnya, tak semua pemancing sadar jika mengail ikan memerlukan keyakinan dan kesabaran. 
Tak pernah kering hikmah dari kisah Nabi Ibrahim dan Ismail a.s. Dua hamba Allah yang telah membuktikan kesalehan dan kesabarannya dalam taat pada Allah swt. Seorang ayah dan anak yang diuji ketaatan dan kecintaannya kepada Allah dan kepada keluarga.

Tak pernah terpikir oleh Ibrahim kalau kecintaannya dengan Ismail harus berbenturan dengan sebuah mimpi. Mimpi tentang perintah Allah yang memintanya untuk menyembelih putera yang telah ia nanti hingga lebih dari delapan puluh tahun. Mimpi yang menyuruhnya melakukan perbuatan yang di luar batas kewajaran sebagai seorang manusia. Terlebih buat orang yang sangat ia cintai. 

Masih terbayang oleh Ibrahim bagaimana beratnya kehidupan Ismail dan ibunya ketika ia tinggalkan di sebuah negeri asing yang tandus. Kawasan padang pasir yang bukan sekadar tak berpenghuni, tapi juga tak berair dan berpohonan. Bagaimana mungkin mereka bisa hidup. Kalau bukan karena ketaatan dan tawakalnya pada Allah swt., tentu Ibrahim tak akan tega meninggalkan mereka menuju Palestina.

Namun, Ibrahim yakin kalau itu bukan sekadar mimpi. Bukan sekadar bunga-bunga tidur yang tidak punya arti. Ia yakin kalau itu perintah Allah yang harus ditaati. Walaupun tak mampu dicerna oleh nalar yang wajar. Dengan sangat bijaksana, Ibrahim mengungkapkan kegundahan itu kepada Ismail, “Wahai anakku. Aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” (Ash-Shaffat: 102)

Dan jawaban yang diberikan Ismail sungguh sangat mengharukan, Ia menjawab, ” Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (Ash-Shaffat: 102).

Dialog yang menggambarkan bagaimana seorang ayah yang sangat menghargai pendapat anaknya jika akan memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan keduanya, dan begitu pasrhanya sang anak atas apa yang Allah perintahkan kepada ayah tercintanya.

Di antara hikmah itu adalah bahwa mencintai sesuatu memerlukan pengorbanan. Pengorbanan itu memerlukan keyakinan dan ketaatan yang kuat. Semakin tinggi dan agung sebuah ungkapan cinta, kian besar tuntutan nilai pengorbanannya. Dan hal itulah yang ingin ditunjukkan Nabi Ibrahim a.s. bahwa Ia harus berkorban. Dengan apa pun, walaupun harus dengan nyawa orang yang paling ia cintai.

Hikmah kedua adalah bahwa kadang kala kedekatan seorang hamba Allah dengan Rabbnya bisa terhalang dengan kedekatan-kedekatan yang lain. Harta, jabatan, isteri atau suami, anak dan cucu. Ada tarik-menarik antara kedekatan-kedekatan itu. Dan setan kerap memainkan kedekatan yang lain itu untuk menggoyahkan komitmen keimanan seorang mukmin.

Betapa tidak sedikit seseorang yang akhirnya menjauh dari Allah lantaran orang yang ia cintai pergi untuk selamanya. Ia lupa kalau siapa pun yang tiba-tiba dekat dalam hatinya cuma berlangsung sementara. Ia akan berpisah. Bisa ia yang ditinggalkan, atau ia yang akan meninggalkan. Tak ada yang abadi dalam dunia. Maha Benar Allah dalam firmanNya, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (Al-Anfal: 28)

Hikmah ketiga adalah bagaimana cara seorang ayah mendidik puteranya dengan mengutamakan dialog, dan mendengarkan pendapat sang anak dan bukan hanya instruksi atau perintah tentang apa yang harus diperbuat.

Nilai keteladanan yang diperlihatkan Ibrahim a.s. inilah yang harus kita contoh. Ia terbukti mampu menempatkan kecintaan pada Allah di atas kecintaan yang lain. Ia pun sukses mengikat cinta-cinta hati orang-orang dekatnya untuk bersama-sama mencintai Allah swt.

Maha Benar Allah dalam firmanNya, “Dan Kami panggilkan dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (Ash-Shaffat: 104-109)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar